Rabu, 27 Juli 2022 08:06 WIB
PanganNews.id Jakarta - Syaefudin, PhD - Dosen Biokimia Toksikologi, FMIPA, IPB University
Seharusnya, Selasa 19 Juli 2022 menjadi malam yang menggembirakan bagi AK. Ia akan menikah dengan gadis pujaan hati esok harinya. Namun tak disangka, hari pernikahan tersebut berubah menjadi hari paling menyedihkan. Empat sahabat terdekatnya meregang nyawa setelah menenggak miras oplosan.
Pesta Berujung Duka
Banjar Melati, nama jalan di bilangan Surabaya ini menjadi saksi bisu peristiwa memilukan terjadi. Enam orang dilarikan ke rumah sakit karena tiba-tiba busa keluar dari mulut mereka. Tak berselang lama, empat di antaranya tewas mengenaskan. AK, sang pengundang pesta, tak menyangka kejadian tersebut berujung petaka. Segalon miras oplosan yang disuguhkan, menjadi ‘perjamuan terakhir’ antara dia dan beberapa teman.
Sesungguhnya, kejadian seperti ini bukanlah yang pertama. Pada tahun 2018, Polda Jabar melaporkan bahwa 52 orang meninggal akibat minum miras oplosan. Pada tahun yang sama, seratusan orang juga harus dirawat setelah pesta miras di Cicalengka, Bandung. Mirisnya, jatuhnya korban miras oplosan ternyata tak mengenal suasana. Di penghujung Juli 2015, malam lebaran yang identik dengan takbiran, ternodai pesta miras segerombolan oknum pemuda di Cirebon yang berujung 6 nyawa melayang.
Di balik petaka miras oplosan tersebut, timbul berbagai pertanyaan: apa yang dimaksud dengan miras oplosan? Mengapa miras bisa menjadi racun bagi sang peminum? Bagaimana menangkal ‘racun’ miras oplosan? Tulisan ini mencoba memberikan alternatif jawaban dari beberapa pertanyaan tersebut.
Kandungan Miras Oplosan
Di Indonesia, miras mempunyai beragam nama. Di Jawa Tengah, minuman ini lebih dikenal dengan sebutan ciu. Di tempat lain, miras disebut tuak, arak, anggur, atau bir.
Pada mulanya, minuman beralkohol ini dihasilkan dari reaksi biokimia pada bahan pangan tertentu yang dikenal dengan istilah fermentasi. Beras, tetes tebu, kelapa, dan ketela pohon adalah bahan yang sering difermentasi untuk menghasilkan alkohol. Alkohol yang dihasilkan umumnya berjenis etanol, yakni cairan yang sama seperti terdapat pada tape singkong atau ketan.
Seiring berjalannya waktu, komposisi miras mengalami perubahan. Tak hanya hasil fermentasi murni dari bahan pangan, kini miras ditambah dengan bahan lain yang kadang tidak layak dikonsumsi. Maka, timbul istilah miras oplosan. Meski demikian, ada satu kesamaan yang dapat ditemukan pada miras oplosan di berbagai daerah, yakni terdapatnya bahan kimia metanol. Bahan kimia yang berbentuk cairan tak berwarna ini merupakan komponen utama dalam pembuatan spirtus. Karena penampakannya mirip air, spirtus yang dijual di pasar umumnya diberi pewarna biru agar tidak diminum. Metanol memiliki bau yang khas, cepat menguap, dan tentu saja mudah terbakar.
Dalam produk komersil minuman keras, bisa saja terdapat kandungan metanol. Hal tersebut disebabkan proses penyulingan cairan tidak sempurna saat pembuatan miras. Namun, jumlah metanol tersebut biasanya sangat sedikit. Pada kasus konsumsi miras yang menyebabkan keracunan, besar kemungkinan konsentrasinya di luar yang bisa ditolerir tubuh. Kurang jelas, apakah metanol tersebut memang benar ditambahkan oleh pengoplos atau memang ketidaksengajaan karena belum cukupnya pengetahuan tentang teknik fermentasi dan penyulingan yang baik.
Selain metanol, miras oplosan juga kadang mengandung aseton. Aseton merupakan pelarut serbaguna. Beberapa industri kecantikan menggunakannya sebagai penghilang cat kuku (kuteks). Bagi tukang bangunan, aseton sering digunakan sebagai thinner cat. Di beberapa tempat, miras juga dioplos dengan minuman berenergi, perasa minuman, atau pewarna tekstil. Bahkan, ada pula yang mencampur miras oplosan dengan losion pengusir nyamuk yang mengandung bahan aktif seperti dietiltoluamida (DEET). Bahan terakhir ini umumnya digunakan untuk meracuni nyamuk, serangga, dan hewan sejenisnya.
Bahaya Miras bagi Kesehatan Manusia
Lalu, bagaimana dampak miras oplosan bagi kesehatan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, satu hal yang perlu diperhatikan adalah pengetahuan dan pemahaman yang baik terhadap bahan-bahan yang terkandung dalam miras oplosan.
Tentu saja, miras oplosan sangatlah berbeda dengan tuak maupun arak. Di dalam tuak maupun arak, kandungan terbesar adalah alkohol jenis etanol. Adapun miras oplosan, jenis bahan sangat beragam, bergantung pada pengoplos. Mereka mendapatkan ‘keahlian mengoplos’ secara turun-temurun, dan kadang melakukan improvisasi. Dari modifikasi tersebut, dihasilkanlah miras maut. Berdasarkan kandungan tambahan yang sering ditemukan pada miras oplosan, bahaya kesehatan yang timbul pasca mengonsumsi miras tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, kandungan umum yang sering ditemukan pada miras oplosan adalah metanol. Secara alami, metanol bisa ditemukan di tubuh manusia lantaran mengonsumsi buah, sayuran, dan makanan yang mengandung pemanis buatan aspartam. Beberapa peneliti menyebutkan bahwa tubuh manusia masih bisa ‘menampung’ metanol hingga 0.00015 g/dL. Jumlah metanol terendah yang dapat meracuni manusia hingga menyebabkan kematian adalah 15 mL dengan konsentrasi metanol sebesar 40%.
Menurut Center for Disease Control and Prevention, Amerika Serikat, gejala keracunan metanol baru akan terlihat 1 hingga 72 jam setelah konsumsi. Efek racun metanol bukan hanya disebabkan oleh metanol itu sendiri, namun sebenarnya lebih kepada zat-zat lain yang dihasilkan oleh reaksi kimia di dalam tubuh akibat menenggak metanol.
Di dalam tubuh, metanol yang memiliki rumus kimia CH3OH diubah menjadi senyawa kimia lain, seperti metanal atau formaldehida (HCHO), asam format (HCOOH), dan karbon dioksida (CO2). Umumnya, masyarakat kita mengenal formaldehida dengan sebutan formalin. Adapun asam format, bahan ini lebih dikenal dengan sebutan asam semut. Jika metanol yang tertelan banyak, tubuh tidak akan mampu mengeluarkan senyawa hasil reaksi pengubahan metanol. Oleh sebab itu, senyawa-senyawa tersebut akan menumpuk dan menimbulkan asidosis, yakni kondisi kelebihan asam di dalam tubuh.
Senyawa yang dihasilkan dari pengubahan metanol juga dapat meracuni sistem saraf. Pada taraf tertentu, sel-sel tubuh akan kesulitan memanfaatkan oksigen. Padahal, oksigen selalu diperlukan sel tubuh. Akibatnya, tubuh harus melakukan reaksi kimia lain berupa pernafasan tanpa oksigen atau lebih dikenal dengan istilah anaerobic respiration. Pernafasan alternatif ini menghasilkan asam laktat, yang tentu saja akan meningkatkan kondisi asidosis.
Peristiwa yang terjadi di tingkat sel tersebut akan terlihat jelas dampaknya setelah delapan jam pertama pasca konsumsi miras. Gejala yang umum terjadi adalah mengantuk, sakit kepala, hilang kesadaran, sesak nafas, dan badan sempoyongan. Pada beberapa kasus, seperti yang terjadi baru-baru ini, keracunan metanol dapat menyebabkan koma dan kematian. Gejala lain yang dirasakan oleh pengonsumsi miras oplosan adalah kaburnya penglihatan, bahkan dapat menimbulkan kebutaan total. Selain itu, korban juga akan merasakan mual yang luar biasa hebat disertai muntah-muntah. Dampak buruk konsumsi miras oplosan bermetanol bergantung pada jumlah cairan metanol yang diminum, interaksi dengan bahan kimia lain di dalam miras, serta ketahanan tubuh masing-masing korban.
Kedua, kandungan bahan kimia yang cukup berbahaya dan ikut tertelan oleh peminum miras oplosan adalah aseton. Sebenarnya, secara alami aseton dihasilkan oleh tubuh pada saat kondisi puasa. Pada kondisi tanpa makanan tersebut, aseton bahkan digunakan oleh sel tubuh untuk mendapatkan energi. Hanya saja, jumlahnya memang tidak banyak.
Pada jumlah terbatas, konsumsi terhadap aseton tidak menimbulkan gejala keracunan yang serius. Di dalam tubuh, organ hati kita mampu menetralkan efek racun aseton. Aseton diubah menjadi senyawa kimia lain yang tidak berbahaya. Meski demikian, tertelannya aseton murni sampai 200 mL dapat menimbulkan sesak nafas, pembengkakan di tenggorokan, peningkatan kadar gula darah, bahkan bisa menyebabkan pingsan selama 12 jam. Pada wanita, paparan aseton secara terus menerus sebanyak 1 g/L dapat menyebabkan gangguan menstruasi.
Ketiga, senyawa yang dapat ditemukan dalam miras oplosan adalah DEET. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada konsentrasi yang cukup rendah, DEET dapat diubah sel tubuh menjadi senyawa lain dan dikeluarkan melalui urin. Sebaliknya, DEET tidak akan sempurna diubah menjadi senyawa lain bila konsentrasinya tinggi.
Dari beberapa kasus yang pernah terjadi di dunia, efek racun DEET sangat bergantung pada usia korban dan jumlah yang dikonsumsi. Laporan yang dikeluarkan oleh Department of Health Toxicology Unit, Imperial College London (2002) menyebutkan bahwa pernah ditemukan kasus keracunan yang berujung maut pada seorang wanita berusia 33 tahun. Meski demikian, konsentrasi DEET pada kejadian tersebut amatlah tinggi, yakni 95%, dan jumlah yang dikonsumsi mencapai 50 mL. Adapun konsentrasi DEET yang terdapat pada losion antinyamuk komersil di Indonesia umumnya sebesar 15%. Beberapa kasus lain menunjukkan bahwa keracunan DEET dengan konsentrasi rendah dapat menyebabkan muntah-muntah. Sebaliknya, pada paparan DEET berlebih, misal karena terlalu sering meminum miras oplosan, dapat menyebabkan gangguan bicara dan tidak mampu mengontrol gerakan anggota badan.
Menangkal Racun ‘Miras Oplosan’
Dari sudut pandang biokimia, setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi efek buruk miras oplosan. Keseluruhan cara tersebut mempertimbangkan reaksi kimia bahan penyusun miras oplosan di dalam tubuh.
Pertama, dalam reaksi pengubahan metanol menjadi senyawa-senyawa lain yang lebih berbahaya, sel tubuh membutuhkan bahan lain yang disebut enzim. Cara terbaik untuk menghentikan reaksi pembentukan senyawa berbahaya tersebut adalah dengan mengganggu kerja enzim. Oleh sebab itu, salah satu yang bisa dilakukan di dunia medis adalah dengan memberikan obat pengganggu, seperti fomepizole.
Cara kedua yang bisa ditempuh adalah dengan memanfaatkan sifat ‘pilih kasih’ dari salah satu enzim pengubah metanol. Enzim yang dikenal dengan nama alkohol dehidrogenase (ADH) ini memang bisa mengubah metanol menjadi formaldehida. Hanya saja, jika terdapat etanol, maka ADH akan mengesampingkan metanol sehingga formaldehida batal terbentuk. Dengan memperhatikan mekanisme ini, maka salah satu cara untuk menghambat efek racun metanol adalah dengan memberikan infus etanol lebih banyak ke dalam tubuh.
Adapun cara ketiga yang bisa dilakukan adalah dengan menetralisir kondisi asidosis tubuh. Kelebihan asam pada tubuh bisa diatasi dengan memberikan terapi alkali (cairan basa). Salah satu penanganan kondisi asidosis adalah dengan memberikan infus bikarbonat.
Menyelesaikan Akar Masalah
Dari sederet pilihan yang bisa dilakukan, agaknya perlu dilakukan langkah strategis dan tersistematis untuk mengurangi korban miras oplosan. Memberikan alternatif seperti menurunkan harga miras (bukan oplosan) bukanlah solusi terbaik karena konsumsi etanol juga bukan berarti tanpa merugikan kesehatan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman keras membahayakan tubuh dan meningkatkan resiko penyakit lain yang tak kalah mematikan.
Munculnya korban disebabkan adanya ‘perilaku’ meminum miras oplosan. ‘Perilaku’ inilah yang merupakan akar persoalan. Oleh sebab itu, menumbuhkan budaya hidup sehat dengan tanpa mengonsumsi miras adalah solusi terbaik. Semoga kita bisa tetap bersyukur dan menjaga nikmat kesehatan yang diberikan Sang Pencipta.
Sabtu, 23 September 2023 10:41 WIB
Jumat, 22 September 2023 18:39 WIB
Jumat, 22 September 2023 13:39 WIB
Jumat, 22 September 2023 13:35 WIB
You must login to comment...
Be the first comment...